THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 26 Mei 2008

"BLT" Jangan Menjadikan Rakyat Pengemis

ADA satu & hadiah dalam peringatan lOO tahun Kebangkitan Nasional dari pemerintah berupa kenaikan harga bahan bakar minyak(BBM). Dalam sudut pandang saya, hal itu memang suatu keputusan yang bisa dipahami sebagai kebijakan pemerintah.| Sebuah keputusan yang tidak mudah, atau pilihanyang sama-sama buruk.|
Menaikkan BBM, jelas, akan berdampak pada naiknya inflasi. Yang terkena langsung dampak kenaikan BBM itu, tentu, adalah rakyat golongan ekonomi lemah atau rakyat kecil. Selama ini kebutuhan bahan pokok dan transportasi Kota untuk mobilisasi dalam keseharian telah dirasa cukup berat.
Namun, di sisi lain, kenaikan BBM harus dipahami sebagai langkah mengatasi membengkaknya. subsidi BBM dalam APBN yang dipastikan menembus agka lebih dari Rp300 triliun.Hakikalnya,subsidi BBM sebagian besar dinikmati oleh golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Dari situ, politik menaikkan harga BBM menjadi sebuah keputusan yang dilematis.Di satu sisi, saat subsidi BBM dinaikkan, anggaran pembangunan lain menurun. Pemerintah sendiri memberi sinyal akan menaikkan BBM akhir Mei atau awal Juni men-datang. Namun yang perlu dipikirkan adalah kenaikan BBM ini tidak lepas dari kebijakan yang afirmatif atau keberpihakan kepada rakyat kecil agar mereka mampu memiliki daya tahan ekonomi dalam kurun waktu tertentu ke depan.
Di samping itu, tentu pemerintah juga harus punya komitmen untuk betul-betul membuat kebijakan penganggaran lebih efisien dan efektif yang harus ditunjukkan oleh semua jajaran, mulai pemerintah pusat, provinsi sampai jajaran pemerintahan daerah
Dengan demikian, secara psikologis, beban ini tidak hanya ditanggung rakyat kecil, tetapi juga dapat menimbulkan empati pemerintah kepada masyarakat. Yang lebih penting lagi, ada suatu kebijakan ekonomi ke depan yang dapat memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Hal ini harus benar benar diru-’muskan secara komprehensif dan ditetapkan dengan peraturan yang tegas dan pasti.
Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, pemerintah sudah menyiapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Menurut saya,hal ini mudah mudahan tidak menjadi program yang terdesak waktu. Program yang dianggap paling mudah atau paling sederhana, tetapi tidak memperhitungkan dampak-dampak sosialnya. DaIam arti, secara politis mungkin cukup membantu menyelesaikan masalah kemiskinan, tetapi di sisi lain justru melemahkan karakter manusia lndonesia.

Menurut saya, kebangkitan nasional harus diwarnai dengan penyadaran rakyat untuk merasa berdaya dan mempunyai keyakinan bahwa kemajuan serta kesejahteraan itu tidak hanya bisa dicapai dengan menengadahkan tangan.
Kemakmuran tidak bisa dicapai dengan tanpa usaha atau tidak ada kesejahteraan yang bisa dicapai tanpa bekerja keras. Pembangunan karakter bangsa juga tidak hanya selalu tergantung pada belas kasihan dari peinerintah. Tentu, momentum Kebangkitan Nasional ini bisa membentuk karakter bangsa menjadi lebih tangguh, lebih disiplin, lebih menghargai proses, lebih mampu bekerja dengan keras, dan lebih mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Namun, dengan adanya kebijakan BLT, apakah hasil itu justru tidak akan menurunkan nilai dari sebuah karakter bangsa? Apakah BLT tidak membuat kita menjadi bangsa yang suka menengadahkam tangan, bangsa pengemis, bangsa yang selalu mengharap belas kasih ? Bukan bangsa yang mampu merebut dan memperoleh kesejahteraan dengan usaha yang sungguh-sungguh serta disiplin ? j
Padahal, pada era globalisasi, kita butuh bangsa yang berkarakter dan sanggup bekerja keras, bangsa yang punya harga diri dan tidak mau kalah. Nah, tentu ini perlu direnungkan oleh pemerintah, akan kah ada program-program lain yang lebih tepat sasaran?
Kedua, program BLT yang diharapkan mampu menopang kehidupan kita selama kurun waktu tertentu secara berlanjut justru kadang kadang menjadi persoalan pelik. Faktanya, banyak .kasus dana BLT diijonkan, dipotong ‘ dengan sejumlah tarif tertentu oleh sejumlah oknum. Artinya,hal itu menjadi semacam jual beli surat berharga ,sementara masyarakat senang-senang saja menerima bantuan. Sebab, masyarakat seringkali mempunyai mental tidak bisa berhemat, yang akhirnya pemakaian dana BLT tidak tepat sasaran atau bukan untuk menghidupi rakyat secara arif. Dana BLT terkadang hanya menjadi pola konsumtif dimuka.
Tentu, persoalan im harus dipikirkan dengan pola pikir yang lebih sederhana. Misalnya, bantuan dana bukan dalam bentuk tunai, tetapi dengan model natura atau dalam bentuk beras. Bisa juga dalam bentuk beasiswa untuk masyarakat yang memiliki anak dalam usia pelajar.Dana tersebut bisa disalurkan melalui sekolah sebagai tambahan beasiswa pela-jar miskin. Lebih serius lagi, dana pengganti program BLT bisa disalurkan melalui program perencanaan yang ma-tang, misalkan proyek-proyek padat karya berbasis wilayah, sehingga dana itu bisa untuk membangun wilayah sendiri.
Masyarakat akan menerima gaji atau honor berdasarkan keterlibatan mereka dalam proyek yang dikerjakan , dari dan untuk mereka sendiri. Mereka yang bekerja akan mendapat upah. Di sini akan ada dua keuntungan. ;
Pertama akan dapat memperbaiki infrastruktur wilayah yang tepat sasaran karena ; berasal dari keinginan dan perencanaan masyarakat sendiri.
Kedua, masyarakat secara harkat dan martabat akan lebih terangkat karena uang yang diterima bukan berasal dari mengemis atau menengadah bantuan dari pemerintah semata. Dengan model program pemberian dana padat karya, masyarakat akan merasa bangga karena memperoleh hasil cucuran keringat mereka sendiri.
Di sini, BLT seringkali menimbulkan masalah karena dana. diterimakan secara langsung by name ke warga. Persoalan yang sering terjadi adalah nama-nama warga yang berhak atau tidak untuk mendapat dana BLT sangat tergantung pada hasil pendataan pemerintah dan bukan hasil dari penilaian masyarakat sendiri. Kadang-kadang itu menjadikari perpecahan dan kecemburuan sosial. Kalau bisa, dana BLT tadi disalurkan dalam bentuk program padat karya, misalnya dalam satu lingkup rukun warga atau rukun tetangga. Misalnya dalam satu RT ada sejumlah warga miskin, kemudian dana tersebut disalurkan untuk program pembarigunan pemberdayaan masyarakat ? tempat,itu akan lebih tepat sasaran.
Data warga miskin akan lebih baik fungsinya hanya sebagai patokan pendataan saja. Dari situ kita hitung berapa kira-kira satu proyek yang bisa digarap warga secara mandiri dan berapa orang warga. miskin yang, berhak mendapat gaji dalam satu kurun waktu tertentu. Nah, dari situlah masyarakat bisa langsung dilibatkan.
Komunitas warga yang berhak melaksanakan proyek padat karya itu juga akan dapat terpetakan sehingga ada hasil nyata dan konkret di daerah tersebut, dengan hanya melibatkan warga miskin yang benar-benar miskin dan tidak terkontaminasi oleh kelompok lain.-
Dalam peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional saat ini, tentu program tersebut akan mampu membentuk karakter bangsa yang tangguh. Di sisi lain, model program ini memungkinkan adanya nilai lebih di mana akan ada partisipasi dari komunitas warga yang mampu secara ekonomi di wilayah tersebut.
Kehadiran mereka dalam program padat karya yang diserahkan langsung kepada masyarakat, untuk menentukan proyek apa yang dibangun akan memberi nilai lebih pada program itu sendiri.

Read More......

Rabu, 21 Mei 2008

Sulitnya Memberantas "Illegal logging"

Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh sektor kehutanan Indonesia adalah percepatan laju deforestasi. Penebangan liar yang kemudian lebih populer dengan istilah illegal logging merupakan salah satu pemicu deforestasi yang melanda sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. kerugian yang diderita negara akibat illegal logging mencapai kurang lebih 30 triliun rupiah per tahun atau kurang lebih 83 miliar rupiah per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan sejak tahun 1999, yaitu kurang lebih 29,5 juta meter kubik kayu yang beredar berasal dari hasil aktivitas illegal logging.
Tidak hanya itu saja, illegal logging juga sering dituding sebagai biang keladi bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda beberapa wilayah di negeri ini. Sebut saja bencana banjir dan tanah longsor di Jember, Banjarnegara, Trenggalek, Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Banjar dan sebagainya. Bencana ini telah memakan korban jiwa dan harta benda serta memporakporandakan perumahan penduduk dan sarana prasarana lainnya. Disinyalir bencana ini terjadi karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, hutan gundul yang semakin meluas yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas illegal logging.Sedemikian klise dan rutinnya, sehingga pencurian kayu menjadi suatu tradisi yang berlangsung sampai sekarang. Aktivitas ini tidak hanya melibatkan sekelompok masyarakat saja, tetapi melibatkan jaringan mafia yang cukup rapi, yang cakupan arealnya semakin luas. Sumatra, Kalimantan, Sulawesi juga Papua yang memiliki kawasan hutan juga tidak pernah terlewatkan dari aktivitas ini.
Seiring dengan perjalanan waktu pencurian kayu yang kemudian populer dengan istilah illegal logging berkembang luas dan menimbulkan dampak multidimensi yaitu berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Hal ini tidak lain karena aktivitas illegal logging tidak melalui perencanaan yang komprehensif sehingga berpotensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.
Aktivitas illegal logging telah tejadi hampir di seluruh tipe kawasan hutan, baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya. Aktivitas illegal logging terjadi di beberapa yang memiliki potensi hutan dan mengandalkannya sebagai salah satu modal dasar dalam kegiatan pembangunan. Illegal logging menjadi masalah yang sangat kompleks, karena banyaknya aktor yang terlibat di dalamnya dengan kepentingan masing-masing, dengan jaringan pasar lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pusat daerah untuk menghabisi aktivitas illegal logging baik yang bersifat preventif, persuasif maupun represif.

Sementara itu upaya represif dilakukan melalui kegiatan operasi pengamanan hutan secara fungsional kehutanan maupun gabungan. Operasi ini dilaksanakan dengan berbagai sandi operasi dengan dukungan instansi-instansi terkait. Berbagai pola operasi pemberantasan illegal logging dilakukan sesuai konsep TPHT, TKK, TKPH, Wana Bahari, Wana Laga, Wana Lestari dan sebagainya. Bentuk-bentuk kegiatan represif berupa razia, penyitaan barang bukti hasil dan alat kejahatan illegal logging, penangkapan pelaku dan sebagainya.
Banyak sudah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi aktivitas tersebut. Terakhir adalah dikeluarkannya Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 4 Tahun 2005 yang merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar sampai ke akar-akarnya. Keluarnya peraturan tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah menganggap bahwa illegal logging merupakan ancaman besar bagi kelangsungan hutan Indonesia sehingga perlu kesungguhan untuk memberantasnya dengan didukung oleh payung hukum setingkat Inpres.
Sayangnya berbagai upaya tersebut belumlah cukup untuk menghentikan aktivitas penebangan liar. Dana yang dialirkan untuk upaya pemberantasan penebangan liarpun juga tidak sedikit baik dana yang dari pemerintah sendiri maupun dana yang dikucurkan oleh pihak lain. Tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga-lembaga non pemerintah di tingkat lokal, nasional maupun internasional juga tidak bosan-bosannya dalam mengkampanyekan anti illegal logging. Rupanya berbagai upaya tersebut belumlah cukup untuk meredam aktivitas illegal logging. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Illegal logging harus dilihat dari perspektif yang komprehensif dengan segala aspeknya. Antara lain adalah aspek legal, aspek supply demand kayu, aspek sosial ekonomi, dan aspek penegakkan supremasi hukum.Sayangnya berbagai upaya tersebut belumlah cukup untuk menghentikan aktivitas penebangan liar. Dana yang dialirkan untuk upaya pemberantasan penebangan liarpun juga tidak sedikit baik dana yang dari pemerintah sendiri maupun dana yang dikucurkan oleh pihak lain. Tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga-lembaga non pemerintah di tingkat lokal, nasional maupun internasional juga tidak bosan-bosannya dalam mengkampanyekan anti illegal logging. Rupanya berbagai upaya tersebut belumlah cukup untuk meredam aktivitas illegal logging. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Illegal logging harus dilihat dari perspektif yang komprehensif dengan segala aspeknya. Antara lain adalah aspek legal, aspek supply demand kayu, aspek sosial ekonomi, dan aspek penegakkan supremasi hukum.Menurut CIFOR (2004), sebanyak 48,8 juta orang penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah tersebut kurang lebih 10,2 juta orang di antaranya tergolong masyarakat miskin, sehingga perlu segera dilakukan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dari sepek sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dapat dijelaskan bahwa tingkat sosial ekonomi yang rendah akan memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal. Kegiatan ini dilakukan baik sekedar untuk membangun tempat tinggal, mengambil lahannya untuk berladang atau yang memang semata-mata mempunyai tujuan komersial dengan memperjualbelikan kayu yang diperoleh.
Tidak adanya kesempatan dan akses terhadap mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan selain dengan menebang kayu juga dapat memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal. Sebagian masyarakat merasa tidak terbantu dengan keberadaan hutan produksi yang dikelola oleh HPH maupun kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, ditambah lagi dengan kesalahan pemaknaan konsep hutan milik negara yang diterjemahkan hutan sebagai milik masyarakat dalam arti masyarakat bebas memperlakukannya sekehendak hati juga mendorong aktivitas penebangan kayu secara membabi buta. Apalagi HPH sendiri kadang-kadang juga terlibat dalam illegal logging di arealnya maupun di luar konsesinya karena berbagai tuntutan baik yang dilakukan secara langsung atau sekedar memfasilitasi pihak lain.
Adanya kesenjangan antara supply dan demand kayu juga mempunyai pengaruh terhadap intensitas illegal logging. Kesenjangan ini terjadi sebagai akibat konsumsi kayu untuk kebutuhan industri maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat cukup tinggi. Secara nasional, menurut Suripto (2005) kebutuhan bahan baku kayu bulat pada saat ini setiap tahunnya mencapai kurang lebih 63 juta meter kubik. Sedangkan produksi kayu bulat dari hutan produksi adalah sekitar 22 juta meter kubik per tahun sehingga terdapat kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun.
Pertumbuhan industri pengolahan kayu di luar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Korea, dan RRC yang juga membutuhkan bahan baku kayu bulat dan kayu gergajian dari Indonesia menambah kesenjangan yang memacu kegiatan penebangan liar. Begitu juga dengan konsumsi kayu untuk rumah tinggal yang cukup tinggi juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya permintaan kayu untuk konsumsi masyarakat lokal. Betapa tidak, sampai saat ini kayu masih tetap diperlukan sebagai salah satu unsur pokok dalam membangun rumah tinggal. Kondisi seperti ini juga berdampak pada semakin tingginya kesenjangan supply dan demand kayu sehingga kebutuhan kayu selain dipenuhi dari kayu-kayu legal juga harus dipenuhi dari kayu hasil aktivitas illegal logging.
Lemahnya penegakkan supremasi hukum juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya aktivitas illegal logging. Upaya penegakkan hukum biasanya terhambat dengan berbagai alasan seperti BAP tidak lengkap, tidak cukup bukti, tidak ada saksi yang menguatkan dan sebagainya sehingga proses hukum tidak dapat dilanjutkan, meskipun semua pihak mengetahui bahwa fakta di lapangan memang terjadi illegal logging baik yang dilakukan oleh perorangan, perusahan skala kecil maupun perusahaan skala besar.
Upaya penegakkan hukum juga belum sepenuhnya menyentuh seluruh pihak yang terlibat dalam illegal logging. Biasanya hanya pelaku di lapangan yang seperti penebang kayu atau sopir truk, yang sering tertangkap dan diproses hukum. Sementara itu sang cukong pemilik modal masih banyak yang belum tersentuh hukum. Bahkan karena kepiawaiannya cukong dapat melepaskan pelaku di lapangan untuk tidak diproses hukum. Lemahnya proses penegakkan hukum disinyalir karena ada oknum aparat penegak hukum ada yang bermain, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya terlibat suap, ikut menggerakkan dan memberi modal kepada masyarakat, menjadi backing dan pengawalan aparat serta menggeser isu-isu kejahatan pidana kehutanan menjadi isu sosial dan politik untuk pembenaran. Juga penyalahgunaan wewenang yang diantaranya meliputi kolusi dalam penerbitan izin penebangan dan pengangkutan, pelanggaran izin, manipulasi penggunaan peralatan, penyalahgunaan dokumen, penyelundupan dan sebagainya.
Beberapa kasus illegal logging yang memang sudah diproses secara hukum, tetapi sanksi yang dikenakan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat illegal logging. Sanksi seperti ini tidak memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat dalam illegal logging. Diskriminasi dalam penegakkan hukum juga menimbulkan memicu kecemburuan masyarakat lokal sehingga mereka semakin berani melakukan aktivitas illegal logging. Syukurlah dalam beberapa waktu terakhir cukong-cukong illegal logging mulai diburu meskipun sampai saat ini masih banyak yang belum tertangkap dan diadili.
Pada hakekatnya illegal logging tidak sekedar tindakan kriminal biasa tetapi merupakan kejahatan lingkungan yang luar biasa merugikan. Bila berlangsung secara terus menerus bukan hanya negara yang dirugikan dari segi penerimaan pendapatan negara tetapi juga berupa kerusakan lingkungan yang tidak ternilai dengan rupiah. Dampak illegal logging akan dirasakan oleh masyarakat secara luas karena kerusakan kawasan hutan yang berdampak pada menurunnya fungsi-fungsi ekonomi dan konservasi. Lantas bagaimana solusinya ?
Pertama, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang selama ini masih menjadi wacana harus selekasnya direalisasikan, sehingga masyarakat merasa untuk ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian akses masyarakat terhadap hutan tidak tertutup sama sekali ditopang oleh regulasi yang berjalan secara legal. Pemanfaatan hutan tidak hanya menguntungkan pemerintah dan swasta saja, tetapi juga harus menguntungkan masyarakat, khususnya dalam meningkatkan status sosial ekonominya sehingga tidak ada istilah masyarakat marginal mereka. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki dan terciptalah pengamanan hutan berbasis masyarakat.
Kedua, pengembangan produk dan peningkatan rendemen kayu olahan di industri agar bahan baku kayu dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Pemanfaatan limbah kayu di hilir dan hulu pada prinsipnya adalah untuk meminimalkan kayu yang terbuang sehingga kesenjangan supply demand kayu untuk industri dapat dikurangi. Disamping itu untuk menambah kemampuan supply bahan baku, program hutan tanaman yang dilakukan oleh masyarakat, swasta, masyarakat atau merupakan sinergi antara ketiganya harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekedar sebagai sarana guna mendapatkan dana segar. Impor kayu juga tidak ada salahnya diperluas karena selama ini impor kayu memang telah berlangsung dalam skala terbatas.
Ketiga, pola kemitraan dalam upaya penanggulangan illegal logging perlu ditingkatkan sehingga masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak menjadi semakin terasing dan tertekan dari lingkungannya sendiri. Pada hakekatnya masyarakat adalah merupakan komponen yang juga harus diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya hutan, karena masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari ekosistem hutan.
Keempat, dalam penegakkan hukum diperlukan peningkatan kualitas mental aparat dan penegak hukum dengan menegakkan perilaku disiplin yang disertai sistem kontrol yang ketat baik oleh pemerintah sendiri, masyarakat maupun pihak swasta sehingga tidak ada diskriminasi hukum. Dalam hal ini perlu diberikan sanksi bagi yang pelaku illegal logging Sebaliknya perlu juga diberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berupaya mendorong upaya membersihkan pengelolaan hutan dari aktivitas illegal logging.

Read More......

"Ritual Balala' Memberikan Kedamaian"

BALALA’ salah satu bagian dari tatanan Adat Budaya Dayak (Sub Suku Dayak Kanayatn/ (Bahasa Badamea dan Bahasa Baahe), tentu juga tidak terlepas dari bagian tatanan Adat Nasional dan Internasional.

Balala' merupakan ritual adat yang religius. Sayang Balala' belum dikenal oleh lapisan masyarakat Dayak secara menyeluruh. Begitu pun ditingkat Nasional Balala' belum terpandang, lantaran Panatua-Panatua Adat belum berani mempromosikannya dalam bentuk sajian secara khusus yaitu: "Balala' ". Ritual Balala' memberi kedamaian dalam kehidupan beradat-istiadat, berbangsa dan bernegara. Perlu permenungan dalam Balala', didalamnya; masyarakat Adat diajak melakukan Instrospeksi (Menginrospeksi). Intropeksi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: Peninjauan terhadap sikap diri-sendiri (mawas diri). Didalam Balala' juga ada unsur "TolakBala", yang fungsinya : Meredam kejadian-kejadian yang dapat mengganggu kehidupan manusia, dan sangat efektif dalam meredam gejolak sosial dam menjauhkan segala bentuk mala petaka dan mara bahaya.

Ritual Balala' dihubungkan dengan Ritual Agama memiliki kesesamaan sifat religius. Kemiripannya, antara lain dalam agama Katolik adalah Pantang dan Puasa, dalam agama Islam yaitu Puasa, dalam agama Hindu yaitu Nyepi. Dengan adanya kesamaan sifat, makna dan tujuan, "Balala' " tidak berlawanan dengan Agama.


Pergertian Balala'
Pandangan saya : berpantang melakukan setiap pekerjaan yang berhubungan dengan padi ladang/sawah. Berpantang melakukan pekerjaan bahkan memetik daun, pantang makan makanan/masakan tertentu.

Balala' dalam masyarakat Dayak; perlu diangkat dan diperkenalkan secara luas. Ritual ini sarat dengan nilai-nilai sosial dan budaya. Juga merupakan wujud nyata kedekatan hubungan manusia Dayak dengan alam, dan kepedulian mereka terhadap lingkungannya. Balala' bertujuan: ngiliratn (menghilirkan/menghanyutkan) penyakit padi dan ngiliratn antu (hantu) afat (membuang bahaya kelaparan).

Menurut saya pantang dan Puasa (Amai'/amali') dan menahan diri. Tidak boleh makan-makanan dan tidak boleh minum-minuman yang terlarang. Intinya mampu menahan "hawa nafsu" yang negatif. Kita dituntut untuk membersihkan diri (bertobat). Balala' merupakan bagian dari tatanan Adat Budaya Dayak yang juga sudah mentra disi secara turun-temurun dalam budaya tahunan Dayak Kanayatn. Balala' juga merupakan inti Upacara Adat Dayak. Karena Balala' mengandung nilai religiun yang sangat tinggi dan amat sakral. Dengan adanya sesama, berdamai dengan alam dan seisinya benar untuk dinasionalkan, bahkan perlu diinternasionalkan (go international).

Mengingat carut-marutnya stabilitas nasional kita sekarang ini, yang mengalami krisis multi dimensi, dimana ada banyak musibah yang menimpa negeri kita ini, baik dari alam maupun dari tindakan-tindakan sekelompok kecil orang yang tidak bertanggung jawab. Ini akibat dari lupa berintrospeksi, dan tidak mau "Balala' ". Pagelaran atau pengetasan "Balala' " ada baiknya, terutama :

1). Untuk menambah kasanah budaya bangsa

2). Dapat menjadi ajang wisata; baik domestik, maupun wisata manca negara

3). Kalimantan dapat dijadikan "Taman Jubata"

4). Kehidupan menjadi aman, damai, dan sejahtera.

Ritual Balala' menjadi go publik apabila: para sesepuh, pamane (cendikiawan), dan aparatur pemerintah sadar akan keberadaan adad istiadat. Semoga Balala' dapat dimegerti bersama. Untuk dapat mewujudkan Balala' bukan sekedar impian, tetapi perlu menyatukan visi dan misi antar masyarakat adat beradat. Ini semua perlu dukungan bersama (oleh semua pihak). Yang sangat diharapkan terutama perjuangan dari para Dewan Adat, buktinya bahwa kamu mampu.

Adil Ka Talino, Bacuramin Ka Saruga, Basengat Ka' Jubata. Kuuuura'am. Yang artinya: Adil di dunia, berpandangan di surga, bernapaskan dari Allah. Syukur kepada Allah.

Read More......

"Illegal logging Dampak Perkebunan kelapa Sawit"

Illegal logging yang banyak terjadi di Kalimantan khususnya di Kalimantan Barat berhubungan dengan gencarnya pembukaan perkebunan kelapa sawit. Artinya pembukaan perkebunan kelapa sawit mempunyai andil besar atas terjadinya illegal logging. Seperti diketahui bahwa pemberian ijin pembukaan perkebunan kelapa sawit selalau berada dalam kawasan hutan atau kawasan yang berhutan, dimana setidaknya potensi tegakan kayu komersial yang ada didalamnya berkisar antara 25-40 meter kubik per hectare.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit dipastikan harus membabat dan memberangus semua kayu tegakan di lahan yang diperuntukan baginya, oleh karena itu, maka tidak dapat dipungkiri bahwa akan menyebabkan begitu banyak kayu komersial yang musnah sia-sia dari pembukaan kebun kelapa sawit tersebut.

Dengan kondisi dimana PBS Sawit yang tidak mempunyai ijin IPK, maka akan dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk meraup keuntungan dengan memungut kayu-kayu tersebut. Ironisnya pemanfaatan kayu tersebut [yang sering disebut dengan limbah] oleh masyarakat setempat kemudian masuk dalam katagori kayu haram.

Jika melihat dari duduk persoalan sebenarnya, maka sesungguhnya pangkal soal maraknya illegal logging [dan juga kebakaran hutan dan lahan] adalah akibat pemberian ijin perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan atau areal yang berhutan. Masalahnya adalah ketamakan dan keteledoran serta sipat mencari keuntungan dari pejabat pemberi ijin yang juga disinyalir turut meraup keuntungan dari kayu-kayu di areal perkebunan kelapa sawit tersebut.

Untuk memberangus illegal logging, salah satu cara yang paling mudah adalah dengan menghentikan pembukaan kawasan hutan dan kawasan berhutan untuk perkebunan kelapa sawit, berikan ijin dan buka saja kebun sawit di kawasan yang tandus dan tidak berhutan, maka tidak akan ada illegal logging. Dalam hal illegal logging yang dihasilkan dan berasal dari kayu-kayu yang berasal dari pembukaan areal perkebunan kelapa sawit ini patut dicatat bahwa biang soalnya adalah pejabat yang memberikan ijin di kawasan hutan dan berhutan. Mereka inilah yang sebenarnya dalang dan pendukung illegal logging secara sistematis.

Aparat hokum harus lebih cermat dan bijak melihat persoalan illegal logging ini dengan tidak hanya mengejar pelaku dan pengumpul kelas teri saja, tetapi juga harus ditelusuri asal usul dan keterlibatan sistematis pember ijin pembabatan hutan untuk perkebunan. Illegal logging buka hanya kayu-kayu yang telah milir di sungai atau beredar di jalan-jalan, melainkan juga aktivitas pembalakan dan penebangan yang dilakukan diareal hutan dan kawasan berhutan.

Read More......

Senin, 19 Mei 2008

"Kenaikan BBM & Tantangan Ekonomi KalBar"


Ekonomi Indonesia tahun 2008 tampaknya akan mengalami masa sulit, dan tentu saja akan berdampak terhadap kinerja ekonomi Kalbar. Walaupun target pertumbuhann ekonomi Kalbar tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan selama lima tahun terakhir (4,48%) yang berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan (12,91%) dan pengangguran (7,08%), namun dampaknya terhadap tingkat kemiskinan dan pengangguran relatif stabil masing-masing hanya 13,02% dan 7,10%. Bagaimana kalau pemerintah benar-benar melaksanakan opsi terakhirnya dengan menaikkan harga BBM tahun ini?

Inflasi, ICOR dan Pertumbuhan Ekonomi

Walaupun menaikkan harga BBM merupakan opsi terakhir untuk menanggulangi beban subsidi APBN, namun dengan melihat perkembangan kondisi ekonomi yang overheating saat ini, menaikkan harga BBM tampaknya bukan merupakan kebijakan yang populis. Sebab bukan hanya dapat menimbulkan tekanan ekonomi bagi masyarakat berpendapatan rendah dan tetap, tetapi juga dapat membuat situasi sosial-politik menjadi tidak menguntungkan menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden tahun 2009. Bila harga minyak tetap di atas $100/barrel sampai tahun depan, maka bisa dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan.

Upaya pemerintah untuk melakukan langkah pembatasan konsumsi premium dan minyak tanah dengan berbagai cara tampaknya tidak efektif. Akibatnya pengeluaran subsidi BBM membengkak, demikan pula subsidi listrik. Dunia usaha juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ini. Sektor manufaktur yang menjadi lokomotif pertumbuhan menghadapi tantangan paling berat, karena bukan saja biaya produksi meningkat, dengan tingginya harga BBM dan bahan baku, daya beli konsumen juga mengalami penurunan. Hanya industri kendaraan bermotor yang tampaknya masih berkembang dengan cukup baik, selama harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan.

Bila opsi menaikkan BBM tetap dilakukan pemerintah, maka target pertumbuhan ekonomi Kalbar tahun 2008 pasti akan sulit direalisasikan. Pemda Kalbar terpaksa harus menghitung kembali besaran (indikator) ekonomi makro yang lain dan merevisi anggarannya. Pada gilirannya, banyak proyek infrastruktur termasuk revitalisasi pertanian untuk pengetasan kemiskinan dan pengangguran akan tertunda. Resiko sistematis ini memang sulit dihindarkan. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengelola resiko ini sehingga dampaknya menjadi minimal.

Dalam kondisi volatilitas ekonomi seperti ini, maka pengetahuan tentang financial risk management sepertinya penting bagi pengelola ekonomi di daerah. Efisiensi pengelolaan dana untuk pembangunan seharusnya dianalisis dalam kerangka manajemen resiko dan urgensi penerapan good governance di semua lini pemerintahan daerah. Dalam hal ini, menajemen keuangan daerah yang efisien sangat diperlukan agar prinsip value for money benar-benar direalisasikan sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat di Kalbar. Karena persoalannya bukan semata-mata jumlah DAU, DAK atau sumber penerimaan daerah yang lain yang diharapkan meningkat dalam jumlah besar, tetapi efektivitas dan efisiensinya sangat tergantung pada ketrampilan manajerial Pemda Kalbar dalam mengelola dana tersebut secara benar, tepat dan berdasarkan prinsip money for value untuk kepentingan masyarakat.


Suku bunga dan Sektor rill
Suku bunga sangat terkait dengan pembiayaan sektor riil. Dengan suku bunga SBI yang rendah saat ini (8% per tahun), seharusnya suku bunga kredit menurun dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan sektor riil. Menurut BI Kalbar, pangsa pasar kredit sebesar 66,92 persen atau Rp 4,7 triliun ada di kota Pontianak, dan sebagian besar kredit konsumsi. Ini berarti kredit yang dikucurkan untuk 12 kabupaten/kota lainnya di Kalbar tidak sampai 30%. Padahal kabupaten-kabupaten tersebut kaya dengan berbagai sumber daya alam (SDA) yang sangat membutuhkan kucuran kredit investasi. Persoalan sektor riil sangat tergantung pada stimulus APBD. Sudah waktunya Pemda Kalbar segera berbenah diri dengan memberikan stimulus dunia usaha di daerah. Pencairan APBD harus dipercepat sehingga mendorong dunia usaha di daerah. Keterlambatan pengeluaran dana APBD karena sulitnya prosedur dan ketatnya pengawasan harus diatasi jika proyek-proyek pembangunan diinginkan untuk berjalan. Berjalannya proyek-proyek pemerintah di daerah akan sangat membantu menciptakan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan bagi masyarakat pada umumnya.

Kita sudah berada di pertengahan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama biasanya relatif rendah seiring dengan masih kecilnya realisasi pos pengeluaran APBD, kecuali untuk proyek yang dananya belum diserap sampai akhir tahun 2007. Kita tidak mengharapkan pengeluaran tersebut akan menumpuk di akhir tahun, sehingga proyek yang dilaksanakan asal jadi semata-mata mengejar target kuantitatif. Sebab penumpukan anggaran dan penggunaannya yang terkesan tergesa-gesa demi memenuhi target anggaran di akhir tahun dapat memberikan peluang penyalahgunaan dana sehingga proyek infrastruktur yang dibangun terkesan asal-asalan dan berkualitas rendah.

Menghadapi kemungkinan kenaikan BBM, sudah seharusnya Pemda mempersiapkan jaring pengaman sosial dengan prioritas utama meningkatkan subsidi pangan guna mengurangi beban masyarakat miskin. Oleh sebab itu, penciptaan birokrasi yang efisien dan penguatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pemerintahan yang bersih, koordinasi yang efektif antar instansi, dan kebijakan pemerintah yang dapat menciptakan masyarakat mandiri, bertanggung jawab, beretos kerja tinggi, peduli, penuh kasih sayang, dan karakter mulia lainnya merupakan prasyarat mutlak bagi terciptanya kredibilitas institusi pemerintahan di daerah ini sehingga permasalahan pembangunan dapat diselesaikan. Tanpa adanya kredibilitas institusi, maka optimalitas penanggulangan empat dari enam masalah yang akan diselesaikan Gubernur semasa kepimpinannya seperti penanggulangan masalah ketersediaan pangan, masalah energi, penanganan gizi buruk, dan penanggulangan kemiskinan tampaknya akan sulit direalisasikan.

Read More......